Setelah
menunaikan suatu peperangan, Khalifah Ali ra. meletakkan baju
perangnya di samping rumah. Ia bermaksud membersihkan dan menyikat
baju perang itu sebelum disimpan. Putranya, Hasan, melihat itu dan
ingin membantu, namun Ali ra. ingin melakukannya sendiri.
Namun, sejurus kemudian, belum sempat Alli ra. membersihkan baju perangnya, baju itu tiba-tiba lenyap. Dengan keheranan Ali ra. menanyakan kepada anggota keluarganya, barangkali melihat baju perang itu. Seluruh anggota keluarga merasa tidak memindahkan, dan mereka semua merasa heran.
Beberapa hari kemudian, Ali ra. melihat baju perangnya berada di pasar di tangan seorang Yahudi. Maka iapun menanyakannya. Si Yahudi bersikeras bahwa baju perang itu miliknya. Sementara Ali ra. merasa yakin bahwa baju itu adalah miliknya. Maka, Ali ra. mengadukan persoalan ini kepada qodhi (hakim).
Beberapa waktu kemudian digelarlah pengadilan. Duduk sebagai terdakwah si Yahudi miskin, dan Khalifah Ali ra. sebagai penuntut. Si Yahudi hadir di pengadilan dengan perasaan was-was. Di dalam hatinya ia membatin, manalah mungkin ia memenangkan pengadilan ini. Pengadilan muslim dengan qodhi muslim berhadapan dengan kasus yang menimpa amirul mukmininnya. Sedangkan ia hanyalah Yahudi miskin. Pastilah ia akan dihukum keras. Ia sadar dan merasa bersalah telah mencuri baju perang sang khalifah. Tetapi itupun terpaksa karena diri dan keluarganya sangat lapar. Apakah ada keadilan di ruang pengadilan muslim.
Lamunannya terhenti ketika qodhi kurus masuk ke dalam ruang pengadilan. Namun para pegawai pengadilan dan masyarakat yang hadir di persidangan tampak menghormatinya.
Namun, sejurus kemudian, belum sempat Alli ra. membersihkan baju perangnya, baju itu tiba-tiba lenyap. Dengan keheranan Ali ra. menanyakan kepada anggota keluarganya, barangkali melihat baju perang itu. Seluruh anggota keluarga merasa tidak memindahkan, dan mereka semua merasa heran.
Beberapa hari kemudian, Ali ra. melihat baju perangnya berada di pasar di tangan seorang Yahudi. Maka iapun menanyakannya. Si Yahudi bersikeras bahwa baju perang itu miliknya. Sementara Ali ra. merasa yakin bahwa baju itu adalah miliknya. Maka, Ali ra. mengadukan persoalan ini kepada qodhi (hakim).
Beberapa waktu kemudian digelarlah pengadilan. Duduk sebagai terdakwah si Yahudi miskin, dan Khalifah Ali ra. sebagai penuntut. Si Yahudi hadir di pengadilan dengan perasaan was-was. Di dalam hatinya ia membatin, manalah mungkin ia memenangkan pengadilan ini. Pengadilan muslim dengan qodhi muslim berhadapan dengan kasus yang menimpa amirul mukmininnya. Sedangkan ia hanyalah Yahudi miskin. Pastilah ia akan dihukum keras. Ia sadar dan merasa bersalah telah mencuri baju perang sang khalifah. Tetapi itupun terpaksa karena diri dan keluarganya sangat lapar. Apakah ada keadilan di ruang pengadilan muslim.
Lamunannya terhenti ketika qodhi kurus masuk ke dalam ruang pengadilan. Namun para pegawai pengadilan dan masyarakat yang hadir di persidangan tampak menghormatinya.
Sejurus
kemudian qodhi membuka sidang.
“Wahai Khalifah, apa tuntutan anda kepada tetrdakwah?” tanyanya tegas.
Khalifah Ali ra. pun menceritakan perihal hilangnnya baju perang miliknya.
“Wahai Khalifah, apakah engkau dapat membuktikan kalau baju perang di tangan terdakwah itu adalah milik engkau?” tanya qodhi.
Ali ra. tersentak dengan pertanyaan sang qodhi. Ia termenung dan merasa sulit membuktikan, kemudian dia berkata, “Aku tak mampu membuktikannya wahai qodhi yang bijak. Namun, anakku Hasan mengetahui bahwa baju perang itu milikku dan hilang saat aku akan membersihkannya.”
Namun sang qodhi menolak saksi dari pihak keluarga. Karena Ali ra. tak mampu membuktikannya, maka akhirnya sang qodhi memutuskan bahwa perkara itu dimenangkan oleh si Yahudi.
Seperti halilintar di tengah hari bolong, si Yahudi tersentak kaget dengan keputusan qodhi kurus berwibawa. Sungguh ia tidak menyangka bahwa ia yang akan menang. Padahal sesungguhnya dirinyalah yang mencuri baju perang itu. Apalagi ini adalah pengadilan muslim. Akhirnya, ia mendekati khalifah Ali ra.
“Wahai Khalifah, sesunguhnya baju perang ini milikmu”, katanya, “ambillah kembali. Aku suungguh terharu dengan pengadilan ini. Meski aku hanya seorang Yahudi miskin dan engkau adalah amirul mukminin, ternyata pengadilan muslim memenangkan aku. Sungguh ini adalah pengadilan yang sangat luar biasa. Dan sungguh Islam yang mulia tidak memandang jabatan di dalam ruang pengadilan,” lanjutnya.
“Wahai Khalifah Ali”, katanya, “mulai detik ini aku akan memeuk Islam dan ingin menjadi muslim yang baik,” katanya mantap sambil menodorkan baju perang Ali.
Khalifah Ali ra. tertegun sejenak, “Wahai fulan, ambillah baju perang itu untukmu. Aku hadiahkan kepadamu. Aku gembira dengan keislamanmu,” kata Ali ra. bersemangat. Mereka pulang dari ruang pengadilan dengan gembira.
Keadilan adalah magnet yang dapat menundukkan nurani kemanusiaan.
“Wahai Khalifah, apa tuntutan anda kepada tetrdakwah?” tanyanya tegas.
Khalifah Ali ra. pun menceritakan perihal hilangnnya baju perang miliknya.
“Wahai Khalifah, apakah engkau dapat membuktikan kalau baju perang di tangan terdakwah itu adalah milik engkau?” tanya qodhi.
Ali ra. tersentak dengan pertanyaan sang qodhi. Ia termenung dan merasa sulit membuktikan, kemudian dia berkata, “Aku tak mampu membuktikannya wahai qodhi yang bijak. Namun, anakku Hasan mengetahui bahwa baju perang itu milikku dan hilang saat aku akan membersihkannya.”
Namun sang qodhi menolak saksi dari pihak keluarga. Karena Ali ra. tak mampu membuktikannya, maka akhirnya sang qodhi memutuskan bahwa perkara itu dimenangkan oleh si Yahudi.
Seperti halilintar di tengah hari bolong, si Yahudi tersentak kaget dengan keputusan qodhi kurus berwibawa. Sungguh ia tidak menyangka bahwa ia yang akan menang. Padahal sesungguhnya dirinyalah yang mencuri baju perang itu. Apalagi ini adalah pengadilan muslim. Akhirnya, ia mendekati khalifah Ali ra.
“Wahai Khalifah, sesunguhnya baju perang ini milikmu”, katanya, “ambillah kembali. Aku suungguh terharu dengan pengadilan ini. Meski aku hanya seorang Yahudi miskin dan engkau adalah amirul mukminin, ternyata pengadilan muslim memenangkan aku. Sungguh ini adalah pengadilan yang sangat luar biasa. Dan sungguh Islam yang mulia tidak memandang jabatan di dalam ruang pengadilan,” lanjutnya.
“Wahai Khalifah Ali”, katanya, “mulai detik ini aku akan memeuk Islam dan ingin menjadi muslim yang baik,” katanya mantap sambil menodorkan baju perang Ali.
Khalifah Ali ra. tertegun sejenak, “Wahai fulan, ambillah baju perang itu untukmu. Aku hadiahkan kepadamu. Aku gembira dengan keislamanmu,” kata Ali ra. bersemangat. Mereka pulang dari ruang pengadilan dengan gembira.
Keadilan adalah magnet yang dapat menundukkan nurani kemanusiaan.
Sumber:
Mulyanto, 2004. Kisah-Kisah
Teladan untuk Keluarga (Pengasah Kecerdasan Spiritual).
Gema
Insani Pers. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar