Senin, 28 September 2015

Asal Muasal dan Penyebaran Beras Hitam, Beras Sang Kaisar


Beras hitam merupakan makanan yang memiliki sejarah budaya yang sangat tinggi. Beras jenis ini sering dikenal dengan sebutan “Beras Terlarang” atau “Beras Sang Kaisar”, karena makanan ini hanya dihidangkan buat para kaisar di zaman Kekaisaran Cina Kuno. Sejak zaman itu, beras jenis ini populer di daerah-daerah tertentu di Cina dan saat ini menjadi salah satu makanan mahal karena kandungan anti-oksidannya yang tinggi.
Akan tetapi, meskipun memiliki sejarah yang panjang, asal muasal beras hitam masih belum jelas. Pertanian beras hitam ditemukan tersebar di daerah Asia. Di sisi lain, beras yang sering ditanam adalah beras yang menghasilkan bulir beras warna putih yang berasal dari jenis Oryza sativa.
Warna yang dihasilkan oleh bulir beras ditentukan oleh pigmen warna yang terkumpul pada bulir beras itu sendiri. Sebagai contoh, pigmen pro-anthocyanidins yang memberi warna merah pada jenis beras merah, tidak terdapat pada jenis beras putih karena adanya mutasi pada gen yang mengontrol pigmen tersebut. Sedangkan warna hitam pada bulir beras hitam berasal oleh pigmen anthocyanin, tetapi bagaimana pigmen tersebut bisa berada dalam bulir beras hitam masih menjadi misteri di kalangan ilmuwan biologi.
Sebuah makalah yang dipublikasikan dalam The Plant Cell pekan ini akhirnya menjawab misteri beras hitam tersebut. Para peneliti dari dua institusi di Jepang berkolaborasi untuk mengkaji genetik beras hitam dengan sangat teliti. Mereka menemukan bahwa sifat hitam pada bulir beras hitam berasal dari gen yang dinamakan Kala4, di mana gen inilah yang bertanggung jawab dalam mengaktivasi produksi pigmen anthocyanin. Mereka menyimpulkan bahwa susunan gen tersebut berasal dari subspesies beras di area tropis-japonika, kemudian karakter hitam pada beras hitam muncul sebagai akibat dari hasil persilangan.
Para peneliti juga menyimpulkan bahwa asal muasal serta penyebaran sifat agronomi suatu spesies selama domestikasi pertanian merupakan suatu peristiwa yang sangat komplek jika ditinjau dari segi evolusi tumbuhan. Hasil studi tentang beras hitam tersebut membantu menjelaskan sisi sejarah dari domestikasi pertanian beras yang dilakukan oleh masyarakat kuno, termasuk kecenderungan mereka dalam memilih jenis beras yang akan mereka tanam.

Sumber: DailyNews

Minggu, 27 September 2015

Tips Agar Daging Kambing Tidak Bau

Bagi umat Islam, Hari Raya 'Idul Adha merupakan salah satu peristiwa yang sangat ditunggu-tunggu. Salah satunya adalah karena pada hari raya tersebut dibagikan daging hewan qurban yang berasal dari hewan kambing, domba, sapi, kerbau dan unta.
Akan tetapi, ternyata tidak semua orang dapat menikmati hari istimewa tersebut dengan kebahagian yang sempurna, salah satu di antaranya karena adanya alergi ataupun ketidaksukaan terhadap daging hewan qurban. Salah satu hewan qurban yang seringkali kurang diminati beberapa orang (mungkin juga banyak orang) adalah kambing. Bagi sebagian orang tersebut, bau amis (tidak sedap) pada daging kambing menjadikan daging hewan tersebut kurang diminati, bahkan cenderung dihindari (kadang meskipun hanya baunya).
Tahukah Anda, sebagian masyarakat kita memiliki kearifan lokal (indigenous knowledge) dalam mengolah daging kambing agar aroma atau bau dagingnya tidak amis? Menurut masyarakat tersebut, amis tidaknya daging kambing bergantung pada cara penyembelihannya. Menurut mereka, agar bau daging kambing tidak amis, maka saat menyembelih hingga mengolah dan memasak, kambing serta dagingnya tidak boleh terkena atau menempel ke tanah.
Tips ini sudah mereka terapkan sejak lama dan berhasil membuat daging kambing jauh dari aroma/bau amis (tidak sedap). Anda penasaran? Silahkan mencoba untuk membuktikannya.

Kamis, 24 September 2015

Ternyata, Bayi Tersenyum untuk Membuat Sang Ibu Membalas Senyuman Kepadanya

Tahukah Anda kenapa bayi tersenyum saat berinteraksi dengan orang tuanya?
Apakah senyuman bayi itu memiliki tujuan tertentu?


Pada tanggal 23 September 2015, sekelompok peneliti yang terdiri dari ahli komputer, ahli robot dan ahli psikologi perkembangan, menyatakan bahwa hampir kebayakan para orang tua meyakini jika bayi mereka memiliki sebuah maksud tertentu saat tersenyum, yaitu untuk membuat setiap orang yang melihatnya kembali membalas senyuman kepadanya.


Sebagai tambahan, untuk mendukung terwujudnya maksud tersebut, para bayi menggunakan pengaturan waktu yang rumit, seperti layaknya seorang pelawak dalam mengatur waktu yang tepat saat mengeluarkan lelucon untuk mendapat respon maksimal dari pendengarnya. Akan tetapi, para bayi kelihatannya menggunakan kemampuan ini sesedikit mungkin.

Untuk mendapat hasil terbaik dalam penelitiannya, para peneliti merinci hasil temuan mereka menggunakan sebuah studi inovatif dengan menggabungkan pendekatan psikologi perkembangan, ilmu komputer serta keahlian robotik, sebuah pendekatan baru yang belum pernah dicoba. Studi tersebut merupakan salah satu bagian dari usaha memahami perkembangan manusia dengan lebih baik menggunakan robot yang didanai oleh National Science Foundation.



Credit: David Hanson/Machine Perception Laboratory
 
Dalam rangka membuktikan temuan mereka, para peneliti memprogram sebuah robot bayi yang memiliki kebiasaan seperti bayi-bayi yang mereka pelajari serta memiliki kemampuan berinteraksi dengan pelajar. Untuk tujuan tersebut, para peneliti menggunakan data dari studi sebelumnya yang meneliti interaksi dari 13 pasang ibu dan bayinya yang berumur kurang dari empat bulan, termasuk kapan dan seberapa sering ibu dan bayinya tersebut tersenyum.

Sumber: ScienceDaily

Rabu, 23 September 2015

Konsumsi Buah dan Sayuran Bebas Karbohidrat Mampu Menurunkan Berat Badan


Peningkatan konsumsi buah-buahan disertai sayuran bebas karbohidrat, berhubungan terbalik dengan peningkatan berat badan. Hal tersebut merujuk pada hasil studi yang diterbitkan di PLOS Medicine, sebuah studi jangka panjang yang dilakukan oleh Monica Bertoia dkk. dari Harvard T. H. Chan School of Public Health and Brigham & Women's Hospital, Boston, Massachusetts, Amerika Serikat.



Pedoman Diet Tahun 2010 yang ditujukan bagi warga Amerika Serikat menganjurkan remaja dan anak-anak untuk mengkonsumsi berbagai macam buah dan sayuran agar dapat membantu mereka mendapatkan serta menjaga berat tubuh yang sehat. Dalam studi tersebut, Bertoia dkk. meneliti hubungan antara perubahan konsumsi buah-buahan dan sayuran yang berbeda yang terdapat pada daftar Pedoman Diet dengan perubahan berat badan pada 133.468 warga Amerika Serikat yang berumur hingga 24 tahun. Setelah mempertimbangkan laporan gaya hidup masing-masing peserta (seperti kebiasaan merokok serta aktivitas fisik), para peneliti menemukan bahwa peningkatan konsumsi buah-buahan serta beberapa jenis sayuran berhubungan dengan penuruan berat badan (dalam 4 tahun) sebesar 0,24 kg untuk setiap jenis buah-buahan, dan 0,11 kg untuk jenis sayuran. Akan tetapi, beberapa jenis sayuran yang mengandung karbohidrat, seperti kacang polong dan jagung, berhubungan dengan kenaikan berat badan.


Para peneliti mengungkapkan bahwa temuan tersebut mendukung usaha untuk meningkatkan konsumsi buah-buahan serta sayuran dalam rangka mencegah kenaikan berat badan yang tidak sehat. Di samping itu, temuan tersebut diharapkan dapat memberi masukan kepada pihak terkait untuk menyediakan daftar makanan yang lebih spesifik dalam rangka mencegah obesitas, yang merupakan faktor resiko utama penyakit diabetes tipe 2, penyakit gagal jantung, kanker serta gangguan kesehatan lain.

Sumber: ScienceDaily


Selasa, 22 September 2015

Ditemukan, Sebuah Teknik Baru untuk Mendeteksi Kerusakan Awal Otak pada Penderita Tekanan Darah Tinggi


Sebuah teknik penginderaan baru mampu menyimpulkan bahwa penderita tekanan darah tinggi beresiko mengalami kerusakan jaringan saraf pada salah satu bagian otak. Hal ini disampaikan pada Konferensi Tekanan Darah Tinggi Tahun 2015 yang diselenggarakan oleh Asosiasi Jantung Amerika.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh tim dari Universitas Sapienza, Roma-Italia tersebut juga menyatakan bahwa bagian otak yang mengalami kerusakan tersebut berhubungan dengan kemampuan kognitif, pengambilan keputusan serta kemampuan untuk mengatur emosi. Saat ini tim peneliti sedang fokus dalam mencari hubungan tekanan darah tinggi terhadap ginjal, mata dan jantung.

Para peneliti tersebut menggunakan teknik diffusion tensor imaging (DTI), pengembangan dari teknik magnetic resonance imaging (MRI), untuk menilai dan membandingkan struktur serta fungsi di antara bagian otak. Penelitian dilakukan terhadap 30 sukarelawan yang terdiri dari 15 orang dengan tingkat tekanan darah antara sedang hingga tinggi, dan 15 orang dengan tingkat tekanan darah normal. Setiap sukarelawan juga menjalani sebuah tes kognitif khusus.

Hasil penginderaan otak pada penelitian tersebut menemukan bahwa semua sukarelawan (30 orang) tidak mengalami gejala abnormal pada otak mereka saat para peneliti menggunakan teknik MRI. Akan tetapi, saat para peneliti menggunakan teknik DTI, sukarelawan dengan tingkat tekanan darah tinggi terlihat mengalami kerusakan pada beberapa bagian otak, seperti:

  • jaringan otak yang bertanggung jawab terhadap fungsi-fungsi non-verbal;
  • urat saraf yang bertanggung jawab terhadap fungsi pelaksanaan tugas dan pengaturan emosi manusia; serta
  • urat sistem saraf tepi, bagian sistem saraf yang medukung kemampuan manusia memperhatikan (konsentasi) sebuah tugas.

Para peneliti juga menemukan bahwa tekanan darah tinggi secara signifikan dapat mempengaruhi fungsi kognitif dan memori otak manusia, di mana temuan ini didapat saat menggunakan teknik DTI maupun MRI.

Para peneliti menyimpulkan bahwa teknik DTI telah membuka jalan untuk mengevaluasi gejala-gejala kerusakan otak pada penderita tekanan darah tinggi, di mana hal ini akan membantu dalam menentukan terapi yang tepat terhadap penderita untuk mengurangi resiko kerusakan otak yang lebih parah.

Teknik DTI, yang sering dikenal dengan istilah tractography, merupakan teknik yang belum lazim digunakan dalam dunia kedokteran. Akan tetapi, para peneliti menyarankan agar dunia kedokteran mulai menggunakan teknologi tersebut agar dapat memperoleh data yang lebih tepat dalam memprediksi kerusakan otak, khususnya pada penderita tekanan darah tinggi.

Sumber: ScienceDaily